Kalau membahas tentang suku, saya terlahir dari suku Jawa. Terutama dari suku Jawa Tengah. Menurut wikipedia, suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Jakarta, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Banten dan Kalimantan Timur. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Suku Osing, Orang Samin, Suku Tengger, dan lain-lain. Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada di negara Suriname, Amerika Selatan karena pada masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini suku Jawa di sana dikenal sebagai Jawa Suriname.
Kebiasaan suku Jawa tidak lepas dari adat istiadat yang berlaku, seperti :
Kebiasaan suku Jawa tidak lepas dari adat istiadat yang berlaku, seperti :
Pernikahan
Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam
perkawinan adalah pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki
hanya memberikan sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang
dikeluarkan pihak perempuan, di luar terkadang ada pemberian
sejumlah perhiasan, perabot rumah maupun rumahnya sendiri. Selain
itu saat acara ngunduh (acara setelah perkawinan dimana
yang membuat acara pihak laki-laki untuk memboyong isteri ke
rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki, walau
biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari hari "baik",
maka perlu dimintakan pertimbangan dari ahli hitungan hari
"baik" berdasarkan patokan Primbon Jawa.
Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad
nikah, secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk
menjalani hidup perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh
ahlinya. Ini dikenal dengan istilah diulik, yaitu mulai dengan
pengurutan perut untuk menempatkan rahim dalam posisi tepat agar
dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh keturunan, sampai
dengan minum jamu Jawa yang akan membikin tubuh ideal dan
singset.
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub
(erat hubungannya dengan takhayul) dan biasanya di rumah sendiri
(kebiasaan di gedung baru mulai tahun 50-an), dari bahan bambu
serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di masa sekarang diganti
tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang tarub
dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi
pula karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya
sebagai simbolis berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan
dibawah genting. Dalam upacara pasang tarub yang terpenting
adalah sesaji. Sebelum pasang tarub harus diadakan kenduri
untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 - 9 orang).
Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini
selamat, yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang
setaman, bunga rampai di empat penjuru halaman rumah, kamar
mandi, dapur dan pendaringan (tempat menyimpan beras),
serta di perempatan dan jembatan paling dekat dengan rumah.
Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas genting
rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu
masuk di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo,
daun beringin dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi
masalah sewaktu acara berlangsung. Di kiri kanan pintu
digantungkan buah kelapa dan disandarkan pohon pisang raja
lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.
Siraman (pemandian) dilakukan sehari
sebelum akad nikah, dilakukan oleh Ibu-ibu yang sudah berumur
serta sudah mantu dan atau lebih bagus lagi jika sudah sukses
dalam hidup, disiramkan dari atas kepala si calon pengantin
dengan air bunga seraya ucapan "semoga selamat di dalam
hidupnya". Seusai upacara siraman, makan bersama berupa nasi
dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan kol dan
kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe
busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan,
salam, laos serta daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan
krupuk kulit), dengan pelengkap sosis dan krupuk udang.
Midodareni adalah malam sebelum akad
nikah, yang terkadang saat ini dijadikan satu dengan upacara temu.
Pada malam midodareni sanak saudara dan para tetangga dekat
datang sambil bercakap-cakap dan main kartu sampai hampir tengah
malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena campuran
santan, opor ayam, sambel goreng, lalab timun dan kerupuk).
Upacara akad nikah, harus sesuai sangat
(waktu/saat yang baik yang telah dihitung berdasarkan Primbon
Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon pengantin tidak memakai subang/giwang
(untuk memperlihatkan keprihatinan mereka sehubungan dengan
peristiwa ngentasake/mengawinkan anak, yang sekarang
jarang diindahkan yang mungkin karena malu). Biasanya acara di
pagi hari, sehingga harus disediakan kopi susu dan sepotong kue
serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol, wortel,
buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon
tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat
sedang sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan
setelah selesai langsung dilakukan upacara akad nikah.
Walau akad nikah adalah sah secara hukum,
tetapi dalam kenyataannya masih banyak perhatian orang terpusat
pada upacara temu, yang terkadang menganggap sebagai
bagian terpenting dari perayaan perkawinan. Padahal sebetulnya
peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat pemasangan
cincin kawin, yang setelah itu Penghulu
menyatakan bahwa mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah
upacara adat dan bisa berbeda walau tak seberapa besar untuk
setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo dan gaya Yogya.
Misalnya dalam gaya Solo, di hari
"H"nya, di sore hari. Tamu yang datang paling awal
biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan bisa
dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk
bersila di krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan
bantal-bantal (biasanya bagi keluarga mampu), sedang yang
laki-laki duduk di kursi yang tersusun berjajar di Pendopo
(sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di Pendopo
semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan gending
Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang
kedatangan pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi
saat pengantin beserta pengiring sudah memasuki halaman
rumah/gedung, gending berhenti, dan para tamu biasanya tahu bahwa
pengantin datang. Lalu tiba di pendopo, ia disambut dan
dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih sejawat
orang tuanya yang terpilih
Sementara itu, pengantin perempuan yang
sebelumnya sudah dirias dukun nganten (rambut digelung
dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik rambutnya,
dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam
kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo
oleh dua orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu,
ditemukan dengan pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat
pengantin pria tiba di rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga
sudah siap keluar dari kamar rias), dengan iringan gending
Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki dituntun
ke arah krobongan.
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua)
meter, mereka saling melempar dengan daun sirih yang dilipat dan
diikat dengan benang, yang siapa saja melempar lebih kena ke
tubuh diartikan bahwa dalam hidup perkawinannya akan menang
selalu. Lalu yang laki-laki mendekati si wanita yang berdiri di
sisi sebuah baskom isi air bercampur bunga. Di depan baskom di
lantai terletak telur ayam, yang harus diinjak si laki-laki
sampai pecah, dan setelah itu kakinya dibasuh dengan air bunga
oleh si wanita sambil berjongkok. Kemudian mereka berjajar,
segera Ibu si wanita menyelimutkan slindur/selendang yang
dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil berucap: Anakku
siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi dua). Selanjutnya
mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin
perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang
ayah sambil ditanya isterinya: Abot endi Pak ?
(berat mana Pak ?), yang dijawab sang suami: Pada dene
(sama saja). Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si laki-laki
duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si
dukun pengantin membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta
(emas, intan, berlian) dan uang pemberian pengantin laki-laki
yang dituangkan ke tangan pengantin perempuan yang telah memegang
saputangan terbuka, dan disaksikan oleh para tamu secara terbuka.
Inilah yang disebut kacar-kucur.
Guna lambang kerukunan di dalam hidup,
dilakukan suap-menyuap makanan antara pengantin. Bersamaan
dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang dengan cara prasmanan)
berurutan satu persatu oleh pelayan. Setelah itu, dilakukan acara
ngabekten (melakukan sembah) kepada orang tua pengantin
perempuan dan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki
ke rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk
dikrobongan dan disembah kedua pengantin).
Lalu setelah itu dilakukan kata
sambutan ucapan terima kasih kepada para tamu dan mohon
do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara hiburan
berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending
ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang
acara itu, dsb.nya.
Membahas tentang makanan khas suku Jawa tidak akan terlepas dengan rasa manis. Bisa dirasakan pada makan khas suku Jawa yaitu Gudeg yang berbahan utama nangka muda.
Membahas tentang makanan khas suku Jawa tidak akan terlepas dengan rasa manis. Bisa dirasakan pada makan khas suku Jawa yaitu Gudeg yang berbahan utama nangka muda.
GUDEG |
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa