KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa penulis
telah menyelesaikan tugas mata pelajaran PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN dengan
pembahasan “Sejarah Hak asasi Manusia ” dalam bentuk makalah.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan
yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, bimbingan Dosen Pengajar dan taman-teman
serta penggunaan internet, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
teratasi.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran
bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai, Amiin.
I.
PEMBAHASAN MATERI
Sejarah Hak Asasi Manusia
Meskipun hak asasi manusia adalah hak yang bersifat kodrati,
yang melekat pada diri manusia dari semenjak manusia dilahirkan, namun
keberadaan hak asasi manusia ini tidaklah semata-mata hadir dengan sendirinya.
Kehadirannya terbentuk dari rangkaian sejarah panjang. Hak asasi manusia yang
kita pahami sekarang ini pun perjalanannya masih belum lagi berakhir.
Perkembangan dan dinamikanya masih akan terus bergulir, terus berlanjut, terus
bergerak seiring dengan perkembangan dan dinamika zaman dan peradaban manusia
itu sendiri.
Terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan yang
mengakibatkan penderitaan umat manusia, merupakan awal yang membuka kesadaran
tentang konsep hak asasi manusia. Catatan sejarah menunjukkan hal ini, sehingga
menjadi tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah HAM adalah sejarah korban.
Pada mulanya, korban-korban itulah yang menemukan hak asasi manusia ini.
Setelah hak itu ditemukan, belum dengan serta merta pula hak
itu akan diakui. Harus melalui serangkaian perjalanan lagi ketika hak yang
sudah ditemukan itu untuk bisa diakui. Begitu pun setelah diakui, masih harus
melewati berbagai tahap lagi hingga kemudian hak-hak itu dikodifikasi. Untuk
sampai pada kodifikasi itu pun masih juga membutuhkan proses yang panjang.
Kodifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), pada
tahun 1948. Kelahiran DUHAM itu sendiri tidak terlepas dari keganasan Perang
Dunia II, yang di dalamnya mencatat kejahatan genosida yang dilakukan oleh
rezim Nazi Hitler.
Jika Magna Carta yang dicetuskan pada tahun 1215 dianggap
sebagai tonggak awal dari kelahiran HAM (sebagaimana yang banyak diyakini oleh
pakar sejarah Eropa), maka bisa dibayangkan betapa panjang dan lamanya proses
perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai kemudian dikodifikasi oleh DUHAM
pada tahun 1948. Begitu pun dalam hal penegakannya (dihormati, dipenuhi, dan
dilindungi). Dibutuhkan 10 tahun agar dua kovenan utama HAM (Kovenan Hak Sipol
dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) bisa efektif berlaku,
dari mulai ditetapkannya tahun 1966 sampai kemudian efektif diberlakukan pada
tahun 1976.
Adapun sejarah perjuangan penegakkan HAM di Indonesia
sendiri, secara sederhana dapat dibagi menjadi empat periode waktu, yaitu zaman
penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan Orde Lama (1945-1966), periode
kekuasaan Orde Baru (1966-1988) dan pemerintah reformasi (1988-sekarang).
Fokus perjuangan menegakkan HAM pada zaman penjajahan adalah
untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia agar bisa terbebas dari
imperialisme dan kolonialisme. Sedang pada masa Orde Lama, upaya untuk
mewujudkan demokrasi menjadi esensi yang diperjuangkan. Demikian juga pada masa
Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan yang otoriter. Pada periode ini, HAM
malah kerap ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik dan kekuasaan.
Akibatnya, perjuangan penegakan HAM selalu terbentur oleh dominannya kekuasaan.
Sedangkan pada saat ini, perjuangan menegakkan HAM mulai merambah ke wilayah
yang lebih luas, seperti perjuangan untuk memperoleh jaminan pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Secara legal-formal, Indonesia sendiri telah membuat
langkah-langkah konkret dalam upayanya untuk turut serta dalam pemajuan dan
perlindungan HAM tersebut. Sampai saat ini, Indonesia telah meratifikasi 6
konvensi internasional, dan pada tahun 2005 yang lalu telah meratifikasi
Kovenan Hak Sipol dan Kovenan Hak Ekosob. Selain itu, dengan telah
diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia pun kini sudah
menjadi hak konstitusional.
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia di Indonesia
Siapa pun boleh menganggap tindakan
pemerintah diatas hanya bagian kecil dari penggusuran, namun anggapan tersebut
secara tidak langsung telah membuktikan tindakan penggusuran dianggap hal yang
biasa terjadi di negara ini. Penggusuran kerap kali ditentang namun praktek
yang identik dengan kekeran ini masih terus terjadi. Tindakan ini terjadi sejak
zaman colonial hingga kini dan tak berbeda dengan yang sudah-sudah. Praktek ini
beralibi atas nama pembangunan.
Forced
eviction dilakukan secara terorganisir oleh pemerintah setempat dilaksanakan
oleh polisi, dibantu oleh petugas ketertiban umum, bahkan hingga preman.
Penggusuran ini bisa berupa pemindahan masyarakat dari tanah milik negara,
tanah milik pribadi, atau tanah di mana kepemilikannya masih menjadi sengketa
atau tidak jelas.
Forced eviction adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena tindakan yang secara paksa ini. Banyak rakyat yang merasa dirugikan mengeluarkan isi hatinya dengan berdemontrasi.
Forced eviction adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena tindakan yang secara paksa ini. Banyak rakyat yang merasa dirugikan mengeluarkan isi hatinya dengan berdemontrasi.
Untuk itu Persatuan Bangsa Bangsa
(PBB) mengeluarkan Resolusi 1993/77 tentang Penggusuran Secara Paksa. (UN
Resolution on “Forced Eviction”, 1993). PBB dan berbagai konvensi internasional
lain telah sepakat menganggap penggusuran paksa sebagai bentuk pelanggaran hak
asasi manusia.
Kehilangan
tempat tinggal yang layak
Dengan hal seperti ini, banyak rakyat Indonesia yang kehilangan tempat tinggal dan berakhir pada tempat-tepoat yang tak layak huni yang menjadi tempat tinggal mereka.
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kesimpulannya untuk
materi ini adalah berbagai
konvensi hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi Indonesia
seperti Konvensi Eliminasi Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi
Hak-hak Anak (CRC) mengakui hak atas tempat tinggal ialah hak asasi setiap
orang. Penggusuran paksa secara langsung melanggar hak-hak yang tercakup dalam
Konvenan Ekosob, hak asasi manusia tersebut saling terkait, maka penggusuran
paksa juga melanggar hak-hak lain, yang meliputi pula hak-hak sipil dan
politik.
Hak-hak tersebut antara lain hak untuk hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri urusan pribadi, keluarga dan rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta bendanya.
Hak-hak tersebut antara lain hak untuk hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri urusan pribadi, keluarga dan rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta bendanya.
B. SARAN
bagaimana
pemerintah sebagai kekuatan politik dan moral yang berkuasa seharusnya
menghormati dan memenuhi hak asasi manusia rakyatnya untuk mendapatkan tempat
tinggal yang layak dan melindungi warganya dari ancaman penggusuran. Dan juga
bagaimana dalam keadaan di mana undang-undang internasional maupun
undang-undang Indonesia mengijinkan terjadinya penggusuran. Karena penggusuran
tidak dapat dihilangkan seiring dengan pembangunan, maka dari itu praktek
penggusuran harus diatur lebih lanjut dan dipandang sebagai langkah paling
akhir dalam penyelesaian sengketa.
Setidaknya terdapat beberapa hal agar permasalahan ini dapat
dikendalikan secara berprikemanusiaan, yakni: Menerapkan regulasi sesuai
standar internasional dalam hal penggusuran seperti tidak boleh mengakibatkan
seseorang menjadi kehilangan tempat tinggal apabila hal ini terjadi pemerintah
harus berupaya mencari alternatif yang memadai.
Mengurangi penggunaan kekuatan yang berlebihan untuk menghindarkan dari
tindakan kekerasan.