I. PENDAHULUAN
Dalam sebuah organisasi, kita mengenal adanya konsep POAC, Plannng,   Organizing, Actuating, dan Controling. Keempat aspek ini merupakan satu   kesatuan langkah sehingga jika tidak terlaksana salah satu, tentu   perjalanan organisasi akan timpang.
Dalam aspek planning, perencanaan partisipatif merupakan salah satu   teknik khusus untuk mengembangkan organisasi dan menampilkan seseorang   sebagai sosok penting dalam organisasi.
II. PEMBAHASAN
Perencanaan
Di dalam proses perancanaan kegiatan organisasi, partisipasi setiap   personal dalam organsiasi sangat menentukan keberhasilan program yang   dicanangkan organisasi. 
Selanjutnya perencanaan yang melibatkan setiap orang dalam organsiasi   kita namakan sebagai perencanaan partisipatif. Setiap aspek perencanaan   disusun berdasarkan partisipasi setiap orang dalam organisasi. Dengan   cara seperti ini, maka rasa tanggung jawab atas setiap program kegiatan   organisasi tumbuh sebagai bagian integral diri.
Sebagai sebuah organisasi yang terdiri atas berbagai sosok dengan   kemampuan masing-masing, maka sudah seharusnya untuk memberdayakan   sumber daya manusia yang dimiliki. Pemberdayaan kompetensi ini sangat   penting sebab organisasi adalah tanggungjawab bersama.
Untuk melibatkan secara aktif setiap orang, maka perencanaan   partisipatif merupakan langkah konkritnya. Jika setiap personal terlibat   dalam perencanaan program, maka setidaknya mereka ikut menentukan   hal-hal yang harus dilakukan dalam organisasi.
Implementasi konsep kebersamaan
Kebersamaan merupakan salah satu teknik unggul dalam mencapai   keberhasilan program kegiatan. Dengan mengedepankan aspek kebersamaan   berarti kita telah memberdayakan  setiap orang dalam organisasi atas   tanggungjawabnya terhadap organisasi.
Penerapan perencanaan partisipatif, maka setiap orang terlibat dalam   kegiatan bersama. Keterlibatan secara aktif dalam setiap kegiatan inilah   yang sebenarnya merupakan tujuan dari perencanaan partisipatif ini.
Kita adalah bangsa yang memegang konsep hidup kebersamaan sehingga jika   setiap personal organisasi ikut berperan dalam penyusunan rencana kerja   ataupun rencana-rencana lain organisasi, maka itu merupakan   implementasinya.
Sudah banyak melihat bahwa kebersamaan merupakan power positif untuk   berbagai kegiatan kolektif  dalam kehidupan organisasi atau masyarakat.   Hal ini sangat memungkinkan sebab dengan perencanaan partisipatif yang   kita terapkan, setiap orang terlibat dan itu berarti setiap orang akan   mengawal perjalanan program tersebut.
Tentunya mereka mempunyai kewajiban moral untuk keberhasilan program  sebab di dalam program tersebut ada gagasan mereka.
Pengakuan atas kompetensi seseorang
Kita harus mengakui bahwa setiap orang yang terlibat dalam kegiatan   mempunyai kompetensi tertentu. Kompetensi ini merupakan citra diri   setiap orang. Setiap orang sangat bangga terhadap kompetensi dirinya.
Jika kita seorang pemimpin, maka penerapan konsep ini harus menjadi satu   program khusus untuk pengembangan organisasi. Setidaknya kita berusaha   membangkitkan sikap keikutsertaan pada setiap personil.
Keterlibatan ini dapat diwujudkan dalam bentuk perencanaan partisipatif   untuk setiap program yang akan dilaksanakan organisasi. Perencanaan   partisipatif berarti sebuah perencanaan yang melibatkan setiap personil,   khususnya yang mempunyai kemampuan sesuai kebutuhan.
Walaupun kita memberikan kesempatan secara terbuka kepada setiap orang   dalam merencanakan program kegiatan organisasi, tetapi dalam hal ini   bukan berarti setiap gagasan yang muncul langsung diterapkan sebagai   bagian program.
Hal ini harus kita sinkronkan dengan visi dan misi yang kita usung   setiap saatnya. Setidaknya dalam hal ini kita sudah memberikan   kesempatan kepada setiap orang untuk mengutarakan gagasan yang mereka   miliki.
Bagaimanapun, seharusnya setiap pimpinan organisasi harus menyadari   bahwa perencanaan partisipatif merupakan langkah konkrit untuk   keberhasilan program.
Keberhasilan ini disebabkan oleh sikap setiap personil dalam menjalankan   program. Bagaimanapun kita harus yakin bahwa power setiap personal   sangat menentukan keberhasilan sebuah program, bukan pada baik buruknya   program
A. Pengantar
Studi kualitas tentang pembelajaran PKn dewasa ini menunjukkan  beberapa  kelemahan, baik dilihat dari proses maupun hasil belajar,  antara lain  dalam aspek metodologis dimana pendekatan ekspositoris  sangat  mendominasi seluruh proses belajar. Aktivitas guru lebih menonjol  dari  pada kegiatan siswa, sehingga belajar siswa terbatas pada  menghapal.   Trilling dan Hood (1999) mengemukakan bahwa perhatian utama  pendidikan  di abad 21 adalah untuk mempersiapkan hidup dan kerja bagi   masyarakat.Tibalah saatnya menoleh sejenak ke arah pandangan dengan   sudut yang luas mengenai peran-peran utama yang akan semakin dimainkan   oleh pembelajaran dan pendidikan dalam masyarakat yang berbasis   pengetahuan. Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama   bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai   penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum   mulai kurikulum 1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti   lagi dengan kurikulum 1994. Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa   kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh   kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.   Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan   tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal   yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan   dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang   dilakukan guru. (Sumargi, 1996) menyatakan, profesionalisme guru dan   tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang   keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika.   Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga   pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan   profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang   tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka   tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang   benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000). Banyak faktor yang menyebabkan   kurang profesionalismenya seorang guru, sehingga pemerintah berupaya   agar guru yang tampil di abad pengetahuan adalah guru yang benar-benar   profesional yang mampu mengantisipasi tantangan-tantangan dalam dunia   pendidikan. Para ahli mengatakan bahwa abad 21 merupakan abad   pengetahuan karena pengetahuan menjadi landasan utama segala aspek   kehidupan. Menurut Naisbit (1995) ada 10 kecenderungan besar yang akan   terjadi pada pendidikan di abad 21 yaitu; (1) dari masyarakat industri   ke masyarakat informasi, (2) dari teknologi yang dipaksakan ke teknologi   tinggi, (3) dari ekonomi nasional ke ekonomi dunia, (4) dari   perencanaan jangka pendek ke perencanaan jangka panjang, (5) dari   sentralisasi ke desentralisasi, (6) dari bantuan institusional ke   bantuan diri, (7) dari demokrasi perwakilan ke demokrasi partisipatoris,   (8) dari hierarki-hierarki ke penjaringan, (9) dari utara ke selatan,   dan (10) dari atau/atau ke pilihan majemuk.      Kaji petik Soepardjo   (2006) menemukan adanya kecendrungan di kalangan siswa dewasa ini   beranggapan bahwa PKn merupakan bidang studi/mata pelajaran yang   menjemukan dan kurang menantang minat belajar, bahkan lebih dari itu   dipandang sebagai mata pelajaran kelas dua, baik oleh peserta didik   maupun oleh orang tua mereka. Hal ini diduga bersumber pada lemahnya   proses belajar, sebagaimana ditemukan dalam kaji petik Suwarma (1991),   bahwa pembelajaran PKn belum mampu membangkitkan budaya belajar pada   peserta didik. Budaya belajar dalam konteks ini diartikan bahwa belajar   PKn bukan hanya menyangkut “what to learn” melainkan “how to learn”.   Dengan kata lain belajar PKn seyogyanya dipandang dari aspek   instrumentalnya, yaitu “learning to learn”. Analisis faktor eksternal   yang berpengaruh terhadap mutu proses dan hasil pembelajaran PKn   menemukan bahwa peserta didik, orang tua, bahkan para pengambil   keputusan dalam bidang pendidikan cenderung beranggapan bahwa PKn kurang   memiliki nilai manfaat dibandingkan dengan bidang studi lainnya  seperti  matematikan dan IPA.     Dampak persepsi negatif tersebut  mengakibatkan  kualitas masukan bagi program ini jauh lebih rendah  dibandingkan dengan  program studi lain, padahal secara intrinsik materi  pelajarannya  memerlukan kemampuan intelektual dan motivasi yang  tinggi. Sementara  itu, perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini  dipandang membawa  kecendrungan pembinaan sumber daya manusia yang lebih  mengutamakan sain,  sehingga komposisi kurikulum harus memuat lebih  banyak sain daripada  ilmu sosial (PKn) dan humaniora. Pemaknaan seperti  ini nampaknya kurang  objektif, sebab keberhasilan pembangunan tidak  hanya ditentukan oleh  sain dan teknologi, melainkan juga oleh ilmu  sosial dan humaniora.       Martorella (1988), menyatakan bahwa lemahnya  basis ilmu sosial dan  humaniora pada tingkat pendidikan dasar dan  menengah antara lain  disebabkan karena ilmu-ilmu alam dan teknologi  dipandang “seolah-olah”  secara kongkrit mampu menjawab tantangan untuk  menjadikan suatu bangsa  modern di tengah-tengah realitas masyarakat  yang terbelakang. Peranan  ilmu alam dan teknologi dianggap sangat ampuh  untuk membebaskan diri  dari keterbelakangan tersebut. Selanjutnya  dikemukakan juga bahwa ilmu  sosial hampir selalu dikritik karena tidak  mampu memberikan jawaban yang  eksak atas berbagai persoalan yang  dihadapi masyarakat. Lebih dari itu,  ilmu sosial dianggap hanya bisa  melancarkan kritik tanpa bisa  memberikan jawaban atau menawarkan suatu  alternatif sebagai solusi akhir  dari sebuah masalah.  Masalah utama  dalam pembelajaran Pendidikan  Kewarganegaraan (PKn) ialah penggunaan  metode atau model pembelajaran  dalam menyampaikan materi pelajaran  secara tepat, yang memenuhi muatan  tatanan nilai, agar dapat  diinternalisasikan pada diri siswa serta  mengimplementasikan hakekat  pendidikan nilai dalam kehidupan  sehari-hari-belum memenuhi harapan  seperti yang diinginkan. Hal ini  berkaitan dengan kritik masyarakat  terhadap materi pelajaran PKn yang  tidak bermuatan nilai-nilai praktis  tetapi hanya bersifat politis atau  alat indoktrinasi untuk kepentingan  kekuasaan pemerintah. Metode  pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar  (PBM) terkesan sangat kaku,  kurang fleksibel, kurang demokratis, dan  guru cenderung lebih dominan  one way method.  Guru PKn mengajar lebih  banyak mengejar target yang  berorientasi pada nilai ujian akhir, di  samping masih menggunakan model  konvensional yang monoton, aktivitas  guru lebih dominan daripada siswa,  akibatnya guru seringkali  mengabaikan proses pembinaan tatanan nilai,  sikap, dan tindakan;  sehingga mata pelajaran PKn tidak dianggap sebagai  mata pelajaran  pembinaan warga negara yang menekankan pada kesadaran  akan hak dan  kewajiban tetapi lebih cenderung menjadi mata pelajaran  yang jenuh dan  membosankan. Untuk menghadapi kritik masyarakat tersebut  di atas, ada  suatu model pembelajaran yang efektif dan efisien sebagai  alternatif,  yaitu model pembelajaran berbasis portofolio (porfolio based  learning),  yang diharapkan mampu melibatkan siswa dalam keseluruhan  proses  pembelajaran dan dapat melibatkan seluruh aspek, yaitu kognitif,   afektif, dan psikomotorik siswa, serta secara fisik dan mental   melibatkan semua pihak dalam pembelajaran sehingga siswa memiliki suatu   kebebasan berpikir, berpendapat, aktif dan kreatif.      Subianto  (2000)  berpendapat bahwa, di kalangan peserta didik telah terjadi  semacam  “idiologisasi” bahwa melanjutkan studi ke bidang ilmu-ilmu  sosial (PKn)  kurang bergengsi, inferior, dan kurang menjanjikan masa  depan yang  cerah. Akibatnya bidang studi ilmu-ilmu sosial merupakan  keranjang  penampungan mereka yang gagal di bidang ilmu-ilmu alam dan  teknologi.  Kondisi ini menunjukkan bahwa pembelajaran PKn perlu  mendapatkan  perhatian secara akademik, sebab kondisi ini akan semakin  terstruktur  dalam kondisi sosial kemasyarakatan. Berangkat dari  seperangkat masalah  di atas, maka tulisan ini akan mengetengahkan  sebuah model pembelajaran  yang “dipandang sebagai alternatif” dalam  memberdayakan PKn sebagai  sebuah subject matter dalam konstalasi  kurikulum nasional.  Masalah  utama dalam pembelajaran Pendidikan  Kewarganegaraan (PKn) ialah  penggunaan metode atau model pembelajaran  dalam menyampaikan materi  pelajaran secara tepat, yang memenuhi muatan  tatanan nilai, agar dapat  diinternalisasikan pada diri siswa serta  mengimplementasikan hakekat  pendidikan nilai dalam kehidupan  sehari-hari-belum memenuhi harapan  seperti yang diinginkan. Hal ini  berkaitan dengan kritik masyarakat  terhadap materi pelajaran PKn yang  tidak bermuatan nilai-nilai praktis  tetapi hanya bersifat politis atau  alat indoktrinasi untuk kepentingan  kekuasaan pemerintah. Metode  pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar  (PBM) terkesan sangat kaku,  kurang fleksibel, kurang demokratis, dan  guru cenderung lebih dominan  one way method.  Guru PKn mengajar lebih  banyak mengejar target yang  berorientasi pada nilai ujian akhir, di  samping masih menggunakan model  konvensional yang monoton, aktivitas  guru lebih dominan daripada  siswa, akibatnya guru seringkali mengabaikan  proses pembinaan tatanan  nilai, sikap, dan tindakan; sehingga mata  pelajaran PKn tidak dianggap  sebagai mata pelajaran pembinaan warga  negara yang menekankan pada  kesadaran akan hak dan kewajiban tetapi  lebih cenderung menjadi mata  pelajaran yang jenuh dan membosankan.   Untuk menghadapi kritik  masyarakat tersebut di atas, dan seiring dengan  perubahan paradigma  pengelolaan kurikulum sekolah, yaitu dari KBK ke  KTSP, maka sajian  singkat ini dimaksudkan untuk menstimuli para guru  agar mampu  mengembangkan dan mengorganisir materi PKn dan  membelajarkannya dengan  model-model yang inovatif, sehingga kualitas  proses dan produk  pembelajaran PKn dapat ditingkatkan. Pada bagian  selanjutnya, akan  diurai secara garis besar tentang ruang lingkup,  tujuan, candraan  materi, dan model-model pembelajaran PKn inovatif.  B.  Sekilas Tentang  Pembelajaran PKn di Sekolah Dasar Pendidikan di  Indonesia diharapkan  dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga  negara yang memiliki  komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan  Negara Kesatuan  Republik Indonesia. Komitmen yang kuat dan konsisten  terhadap prinsip  dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat,  berbangsa, dan  bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang  Dasar 1945,  perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan  pemahaman yang  mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Secara historis,  negara Indonesia telah diciptakan sebagai Negara  Kesatuan dengan bentuk  Republik. Dalam perkembangannya sejak Proklamasi  17 Agustus 1945  sampai dengan penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia  telah mengalami  berbagai peristiwa yang mengancam keutuhan negara. Untuk  itu diperlukan  pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat serta  konsisten  terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan  bermasyarakat,  berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila  dan  Undang-Undang Dasar 1945.  Konstitusi Negara Republik Indonesia  perlu  ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia, khususnya  generasi  muda sebagai generasi penerus.  Indonesia harus menghindari  sistem  pemerintahan otoriter yang memasung hak-hak warga negara untuk   menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat,   berbangsa, dan bernegara. Kehidupan yang demokratis di dalam kehidupan   sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan,   dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dipahami,   diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan   prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu, perlu pula ditanamkan kesadaran    bela negara, penghargaan terhadap hak azasi manusia, kemajemukan  bangsa,  pelestarian lingkungan hidup, tanggung jawab sosial, ketaatan  pada  hukum, ketaatan membayar pajak, serta sikap dan perilaku anti  korupsi,  kolusi, dan nepotisme. Mata Pelajaran Pendidikan  Kewarganegaraan  merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada  pembentukan warganegara  yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak  dan kewajibannya untuk  menjadi warganegara Indonesia yang cerdas,  terampil, dan berkarakter  yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.  Mata pelajaran Pendidikan  Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik  memiliki kemampuan sebagai  berikut. (1) Berpikir secara kritis,  rasional, dan kreatif dalam  menanggapi isu kewarganegaraan, (2)  Berpartisipasi secara aktif dan  bertanggung jawab, dan bertindak secara  cerdas dalam kegiatan  bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta  anti-korupsi, (3)  Berkembang secara positif dan demokratis untuk  membentuk diri  berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar  dapat hidup  bersama dengan bangsa-bangsa lainnya, dan (4) Berinteraksi  dengan  bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau  tidak  langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.  Ruang  lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi  aspek-aspek  sebagai berikut.      Persatuan dan Kesatuan bangsa,  meliputi: Hidup  rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan  sebagai bangsa  Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan  Republik Indonesia,  Partisipasi dalam pembelaan negara,  Sikap positif  terhadap Negara  Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan  keadilan       Norma, hukum dan peraturan, meliputi:  Tertib dalam  kehidupan keluarga,  Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di  masyarakat,  Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan  berbangsa dan  bernegara, Sistim hukum  dan peradilan nasional, Hukum  dan peradilan  internasional      Hak asasi manusia meliputi: Hak dan  kewajiban anak,   Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen  nasional dan  internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan  HAM         Kebutuhan  warga negara meliputi: Hidup gotong royong,  Harga diri  sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi,  Kemerdekaan  mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama,  Prestasi diri ,  Persamaan kedudukan warga negara      Konstitusi Negara  meliputi:  Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,    Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di  Indonesia, Hubungan   dasar negara dengan konstitusi      Kekuasan dan Politik, meliputi:   Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi,   Pemerintah pusat,  Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya   demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam   masyarakat demokrasi      Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila   sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila   sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan   sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka      Globalisasi   meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di   era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan   organisasi internasional,  dan Mengevaluasi globalisasi. Peranan politik luar  negeri yang bebas aktif bagi  kepentingan negara dan masyarakat.       Contoh-contoh manfaat politik  luar negeri yang bebas dan aktif.   D.  Dasar Pemikiran Model  Pembelajaran Portofolio dalam PKn  Menurut ERIC  Digest (2000),  “Portfolios are used in various professions together  typical..; art  students assamble a portfolio for an art class..”.  Portofolio merupakan  kumpulan hasil karya siswa sebagai hasil  belajarnya. Portofolio,  selain sangat bermanfaat dalam memberikan  informasi mengenai kemampuan  dan pemahaman siswa serta memberikan  gambaran mengenai sikap dan minat  siswa terhadap pelajaran yang  diberikan, juga dapat menunjukkan  pencapaian atau peningkatan yang  diperoleh siswa dari proses  pembelajaran (Stiggins, 1994 : 20). Melalui  model pembelajaran  portofolio, selain diupayakan dapat membangkitkan  minat belajar siswa  secara aktif, kreatif, juga dapat mengembangkan  pemahaman nilai-nilai  kemampuan berpartisipasi secara efektif, serta  diiringi suatu sikap  tanggung jawab.  Adapun alasan penggunaan model  pembelajaran  portofolio, yang mendasari kegiatan serta proses  pembelajaran PKn  mengacu pada pendekatan sistem : (1) CTL, ‘Contextual  Teaching  Learning’, dan (2) ‘Model Kegiatan Sosial dan PKn’.  (1) CTL  adalah  suatu bentuk pembelajaran yang memiliki karakteristik berikut :         keadaan yang mempengaruhi langsung kehidupan siswa dan   pembelajarannya;  dengan menggunakan waktu/kekinian, yaitu masa yang   lalu, sekarang, dan yang akan datang;       lawan dari textbook   centered;       lingkungan budaya, sosial, pribadi, ekonomi, dan   politik;       belajar tidak hanya menggunakan ruang kelas, bisa   dilakukan di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara;         mengaitkan isi pelajaran dengan dunia nyata dan memotivasi siswa   membuat hubungan antara pengetahuan dengan penerapannya dalam kehidupan   mereka;      membekali siswa dengan pengetahuan yang fleksibel dapat   diterapkan dari satu permasalahan ke permasalahan lain, dari satu   konteks ke konteks lain.  Model CTL disebut juga REACT, yaitu Relating   (belajar dalam kehidupan nyata), Experiencing (belajar dalam konteks   eksplorasi, penemuan dan penciptaan), Applying (belajar dengan   menyajikan pengetahuan untuk kegunaannya), Cooperating (belajar dalam   konteks interaksi kelompok), dan Transfering (belajar dengan menggunakan   penerapan dalam konteks baru/konteks lain)  (2) Model Kegiatan Sosial   dan PKn  Model yang dipelopori oleh Fred Newman ini mencoba mengajarkan   pada siswa bagaimana mempengaruhi kebijakan umum, dengan demikian   pendekatan tersebut mencoba memperbaiki kehidupan siswa dalam masyarakat   atau negara, dengan mencoba mengembangkan kompetensi lingkungan yang   merupakan kemampuan siswa untuk mempengaruhi lingkungan, dan memberikan   dampak pada keputusan-keputusan kebijakan, memiliki tingkat kompetensi   dan komitmen sebagai pelaksana yang bermoral. Model ini mendorong   partisipasi aktif siswa dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial   dalam masyarakat.  Kedua model di atas, yang menjadi dasar acuan   pendekatan sistem pada model pembelajaran portofolio membina siswa dalam   rangka pemerolehan kompetensi lingkungan dan membekali siswa dengan   life skill : civic skill, civic life, serta dapat mengembangkan dan   membekali siswa bagaimana belajar ber-PKn-dengan pengetahuan dan   keterampilan intelektual yang memadai serta pengalaman praktis agar   memiliki kompetensi dan efektifitas dalam berpartisipasi, juga untuk   membina suatu tatanan nilai terutama nilai kepemimpinan pada diri siswa,   agar siswa dapat mempertanggungjawabkanb ucapan, sikap, perbuatan pada   dirinya sendiri, kemudian pada masyarakat, bangsa, dan negara.    Implementasi model pembelajaran portofolio akan menjadikan PBM PKn yang   sangat menyenangkan bagi siswa, bila pembelajaran tersebut beserta   komponennya memiliki kegunamanfaatan bagi siswa dan kehidupannya.   E.   Kelemahan, Peluang, dan Ancaman Model Portofolio Selain hal-hal positif,   keunggulan, dan kelebihan model portofolio di atas, kita pun harus   mencermati beberapa kelemahan, peluang, dan ancaman yang terdapat di   dalam proses pembelajaran PKn in action, seperti dipaparkan di bawah   ini. 1. Kelemahan Model Pembelajaran Portofolio :       Diperlukan waktu   yang cukup banyak, bahkan diperlukan waktu di luar jam pembelajaran di   sekolah, sehingga untuk menuntaskan satu studi kasus atau suatu   kebijakan publik diperlukan lebih dari 20 jam pelajaran seperti yang   telah ditentukan dalam jadwal;       Kurangnya pengetahuan/daya nalar   guru yang bersangkutan      Belum diberikannya hak otonomi mengajar   sebagai pengembang kurikulum praktis di kelas;       Diperlukan tenaga   dan biaya yang cukup besar;       Kurangnya jalinan komunikasi antara   pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat khususnya para birokrat/instansi   yang dikunjungi oleh para siswa untuk dimintai keterangannya; dan         Belum terbiasanya pembiasaan jalinan kerjasama kelompok tim para  siswa,  dengan kesadaran, karena jika ide atau gagasan terlalu banyak  dan tidak  dapat dipertemukan, masalah akan sulit dipecahkan.  2.  Peluang Model  Pembelajaran Portofolio :       Dalam kurikulum baru,  diharapkan topik  materi pembelajaran tidak terlalu banyak, namun dimuat  satu sampai 2  topik atau materi pelajaran per semester, sehingga model  pembelajaran  portofolio dapat dilaksanakan tanpa kekurangan waktu atau  menyalahi apa  yang telah digariskan dalam kurikulum. Model ini dapat  dilakukan satu  tahun satu kali;       Hak otonomi mengajar pada guru  dalam  mengembangkan kemampuan, kemauan, daya nalar, serta fungsi  perannya  sebagai fasilitator, mediator, motivator,. Dan rekonstruktor   pembelajaran di dalam kelas;       Tukar pendapat, informasi,   pengetahuan untuk meningkatkan daya nalar dan pengetahuan dengan rekan   guru pada MGMP PKn setempat;       Kerjasama/kolaborasi antara Kepala   Sekolah dan pihak Dewan Sekolah/Komite Sekolah untuk menangani masalah   pendanaan;       Kerjasama/kolaborasi antara pihak sekolah dengan   pemerintah setempat;       Siswa dapat mengunjungi instansi/lembaga   pemerintah yang terkait untuk mencari atau memperoleh informasi yang   dibutuhkan.  3. Ancaman Model Pembelajaran Portofolio :       Belum   diberikannya hak otonomi mengajar, sehinga guru masih terikat pada   keharusan sebagai pelaksanan kurikulum, sedangkan guru harus dapat   menjadi pengembang kurikulum praktis di dalam kelas;       Kurang   kesadaran guru dalam mengembangkan kemampuan dan kemauan dalam   melaksanakan fungsi perannya;       Tidak ada dukungan moril serta   bantuan dana dari pihak sekolah;       Kurangnya kerjasama antara para   guru, Kepala Sekolah, Dewan Sekolah, Orang Tua Siswa, dan   instansi/lembaga pemerintah serta masyarakat setempat   F. Guru dan   Strategi Pengembangan Pembelajaran Bermakna Menurut Prof. Suyanto,   Ph.D., Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, “Guru harus diajak berubah   dengan dilatih terus- menerus dalam pembuatan satuan pelajaran, metode   pembelajarannya yang berbasis Inquiry, Discovery, Contekstual Teaching   and Learning, menggunakan alat bantunya, menyusun evaluasinya, dan   perubahan filosofinya, dan sebagainya.” Pembelajaran kontekstual   didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan   bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait   dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa   yang akan terjadi di sekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada   daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan   menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara   individu maupun kelompok. Dengan demikian, guru dituntut untuk   menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dan memberikan kegiatan   yang bervariasi, sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa,   mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru,   menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, responsif, serta rumah   dan lingkungan masyarakat. Pada akhirnya siswa memiliki motivasi tinggi   untuk belajar. Namun dalam keseharian, guru masih terjebak pada  filosofi  dan pendekatan lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi  yang mereka  lakukan. Evaluasi yang digunakan oleh para guru di lapangan  masih  berpedoman pada paradigma lama yang hanya mengukur kemampuan  kognitif  dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama  sekali  dengan kurikulum sebelumnya. Kendala utama yang dialami guru  adalah  ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi  dengan  portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola   assessment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang  cognitive-based  semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan  sebagai rujukan  membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan,  apalagi lompatan,  dalam proses peningkatan kegiatan belajar  mengajarnya. Ada beberapa  strategi pengajaran yang perlu dikembangkan  guru secara kontekstual  antara lain, Pertama, pembelajaran berbasis  masalah; Sebelum memulai  proses belajar-mengajar di kelas, siswa  terlebih dahulu diminta untuk  mengobservasi suatu fenomena terlebih  dahulu dan siswa diminta untuk  mencatat permasalahan-permasalahan yang  muncul. Di sini guru merangsang  siswa untuk berpikir kritis dalam  memecahkan masalah yang ada serta  mengarahkan siswa bertanya,  membuktikan asumsi, dan mendengarkan  perspektif yang berbeda dengan  mereka. Kedua, memanfaatkan lingkungan  siswa untuk memperoleh  pengalaman belajar; guru memberikan penugasan  yang dapat dilakukan di  berbagai konteks lingkungan siswa misalnya, di  sekolah, keluarga, dan  lingkungan masyarakatnya serta penugasan siswa  untuk belajar di luar  kelas. Ketiga, memberikan aktivitas kelompok;  Aktivitas belajar secara  kelompok dapat memperluas perspektif serta  membangun kecakapan  interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain.  Guru dapat menyusun  kelompok terdiri dari tiga, lima, maupun delapan  siswa sesuai dengan  tingkat kesulitan penugasan. Keempat, membuat  aktivitas belajar  mandiri; Peserta didik diarahkan untuk mencari,  menganalisis dan  menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa  bantuan guru.  Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji  coba terlebih  dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun  refleksi; serta  berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat  melakukan proses  pembelajaran secara mandiri (independent learning).  Kelima, membuat  aktivitas belajar bekerja sama dengan masyarakat;  sekolah dapat  melakukan kerja sama dengan institusi pemerintah/swasta  dan orang tua  siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru  tamu. Hal ini  perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara  langsung di  mana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan.  Keenam,  menerapkan penilaian autentik; Dalam pembejalaran kontekstual,   penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi   akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk   tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002:165), penilaian autentik   memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah   mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk   penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portofolio, tugas   kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis. Sebagai penjabarannya   antara lain, portofolio; merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa   dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk   mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh   kebebasan dalam belajar sekaligus memberikan kesempatan luas untuk   berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan   penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai   pembejalaran aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survei   mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya. Tugas kelompok;   dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan projek. Kegiatan  ini  merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi   perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Is   dari projek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh  karena  itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai  contoh,  siswa diminta membentuk kelompok projek untuk menyelidiki  penyebab  pencemaran sungai di lingkungan siswa. Demonstrasi, siswa  diminta  menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai  kompetensi yang  telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan  evaluasi  pertunjukkan siswa.