Minggu, 24 Juni 2012



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. bahwa penulis telah menyelesaikan tugas mata pelajaran PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN dengan pembahasan “Sejarah Hak asasi Manusia ” dalam bentuk makalah.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, bimbingan Dosen Pengajar dan taman-teman serta penggunaan internet, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amiin.

I. PEMBAHASAN MATERI
Sejarah Hak Asasi Manusia
Meskipun hak asasi manusia adalah hak yang bersifat kodrati, yang melekat pada diri manusia dari semenjak manusia dilahirkan, namun keberadaan hak asasi manusia ini tidaklah semata-mata hadir dengan sendirinya. Kehadirannya terbentuk dari rangkaian sejarah panjang. Hak asasi manusia yang kita pahami sekarang ini pun perjalanannya masih belum lagi berakhir. Perkembangan dan dinamikanya masih akan terus bergulir, terus berlanjut, terus bergerak seiring dengan perkembangan dan dinamika zaman dan peradaban manusia itu sendiri.  
Terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan yang mengakibatkan penderitaan umat manusia, merupakan awal yang membuka kesadaran tentang konsep hak asasi manusia. Catatan sejarah menunjukkan hal ini, sehingga menjadi tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah HAM adalah sejarah korban. Pada mulanya, korban-korban itulah yang menemukan hak asasi manusia ini.
Setelah hak itu ditemukan, belum dengan serta merta pula hak itu akan diakui. Harus melalui serangkaian perjalanan lagi ketika hak yang sudah ditemukan itu untuk bisa diakui. Begitu pun setelah diakui, masih harus melewati berbagai tahap lagi hingga kemudian hak-hak itu dikodifikasi. Untuk sampai pada kodifikasi itu pun masih juga membutuhkan proses yang panjang. Kodifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), pada tahun 1948. Kelahiran DUHAM itu sendiri tidak terlepas dari keganasan Perang Dunia II, yang di dalamnya mencatat kejahatan genosida yang dilakukan oleh rezim Nazi Hitler.
Jika Magna Carta yang dicetuskan pada tahun 1215 dianggap sebagai tonggak awal dari kelahiran HAM (sebagaimana yang banyak diyakini oleh pakar sejarah Eropa), maka bisa dibayangkan betapa panjang dan lamanya proses perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai kemudian dikodifikasi oleh DUHAM pada tahun 1948. Begitu pun dalam hal penegakannya (dihormati, dipenuhi, dan dilindungi). Dibutuhkan 10 tahun agar dua kovenan utama HAM (Kovenan Hak Sipol dan Politik dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) bisa efektif berlaku, dari mulai ditetapkannya tahun 1966 sampai kemudian efektif diberlakukan pada tahun 1976.
Adapun sejarah perjuangan penegakkan HAM di Indonesia sendiri, secara sederhana dapat dibagi menjadi empat periode waktu, yaitu zaman penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan Orde Lama (1945-1966), periode kekuasaan Orde Baru (1966-1988) dan pemerintah reformasi (1988-sekarang).
Fokus perjuangan menegakkan HAM pada zaman penjajahan adalah untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia agar bisa terbebas dari imperialisme dan kolonialisme. Sedang pada masa Orde Lama, upaya untuk mewujudkan demokrasi menjadi esensi yang diperjuangkan. Demikian juga pada masa Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan yang otoriter. Pada periode ini, HAM malah kerap ditafsirkan sesuai dengan kepentingan politik dan kekuasaan. Akibatnya, perjuangan penegakan HAM selalu terbentur oleh dominannya kekuasaan. Sedangkan pada saat ini, perjuangan menegakkan HAM mulai merambah ke wilayah yang lebih luas, seperti perjuangan untuk memperoleh jaminan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Secara legal-formal, Indonesia sendiri telah membuat langkah-langkah konkret dalam upayanya untuk turut serta dalam pemajuan dan perlindungan HAM tersebut. Sampai saat ini, Indonesia telah meratifikasi 6 konvensi internasional, dan pada tahun 2005 yang lalu telah meratifikasi Kovenan Hak Sipol dan Kovenan Hak Ekosob. Selain itu, dengan telah diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945, hak asasi manusia pun kini sudah menjadi hak konstitusional.




Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
(Penggusuran Secara Paksa)

                Siapa pun boleh menganggap tindakan pemerintah diatas hanya bagian kecil dari penggusuran, namun anggapan tersebut secara tidak langsung telah membuktikan tindakan penggusuran dianggap hal yang biasa terjadi di negara ini. Penggusuran kerap kali ditentang namun praktek yang identik dengan kekeran ini masih terus terjadi. Tindakan ini terjadi sejak zaman colonial hingga kini dan tak berbeda dengan yang sudah-sudah. Praktek ini beralibi atas nama pembangunan.
            Forced eviction dilakukan secara terorganisir oleh pemerintah setempat dilaksanakan oleh polisi, dibantu oleh petugas ketertiban umum, bahkan hingga preman. Penggusuran ini bisa berupa pemindahan masyarakat dari tanah milik negara, tanah milik pribadi, atau tanah di mana kepemilikannya masih menjadi sengketa atau tidak jelas.
      Forced eviction adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena tindakan yang secara paksa ini. Banyak rakyat yang merasa dirugikan mengeluarkan isi hatinya dengan berdemontrasi.
 


Demonstrasi menolak segala bentuk perampasan Hak atas Tempat Tinggal
 
Untuk itu Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 1993/77 tentang Penggusuran Secara Paksa. (UN Resolution on “Forced Eviction”, 1993). PBB dan berbagai konvensi internasional lain telah sepakat menganggap penggusuran paksa sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Kehilangan tempat tinggal yang layak
             Dengan hal seperti ini, banyak rakyat Indonesia yang kehilangan tempat tinggal dan berakhir pada tempat-tepoat yang tak layak huni yang menjadi tempat tinggal mereka.



III. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulannya untuk materi ini adalah berbagai konvensi hak asasi manusia internasional yang telah diratifikasi Indonesia seperti Konvensi Eliminasi Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak-hak Anak (CRC) mengakui hak atas tempat tinggal ialah hak asasi setiap orang. Penggusuran paksa secara langsung melanggar hak-hak yang tercakup dalam Konvenan Ekosob, hak asasi manusia tersebut saling terkait, maka penggusuran paksa juga melanggar hak-hak lain, yang meliputi pula hak-hak sipil dan politik.
Hak-hak tersebut antara lain hak untuk hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri urusan pribadi, keluarga dan rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta bendanya.

B. SARAN
            bagaimana pemerintah sebagai kekuatan politik dan moral yang berkuasa seharusnya menghormati dan memenuhi hak asasi manusia rakyatnya untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan melindungi warganya dari ancaman penggusuran. Dan juga bagaimana dalam keadaan di mana undang-undang internasional maupun undang-undang Indonesia mengijinkan terjadinya penggusuran. Karena penggusuran tidak dapat dihilangkan seiring dengan pembangunan, maka dari itu praktek penggusuran harus diatur lebih lanjut dan dipandang sebagai langkah paling akhir dalam penyelesaian sengketa.
Setidaknya terdapat beberapa hal agar permasalahan ini dapat dikendalikan secara berprikemanusiaan, yakni: Menerapkan regulasi sesuai standar internasional dalam hal penggusuran seperti tidak boleh mengakibatkan seseorang menjadi kehilangan tempat tinggal apabila hal ini terjadi pemerintah harus berupaya mencari alternatif yang memadai.  Mengurangi penggunaan kekuatan yang berlebihan untuk menghindarkan dari tindakan kekerasan.